Mirip dengan cerita soal bekas Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Nama polisi itu Oemar Saleh, perwira polisi berpangkat Letnan Kolonel (sekarang Ajun Komisaris Besar Polisi) di Bone, Sulawesi Selatan. Jabatan terakhirnya adalah wakil kepala kepolisian wilayah Bone, Sulawesi Selatan.
Hidupnya sangat sederhana. Hanya mengandalkan gaji sebagai seorang polisi. Setelah kematiannya, di dompet Oemar hanya didapati uang Rp35.000. Tak ada tabungan. Sebaliknya dia meninggalkan utang di bank hampir Rp3 juta. Kepada anak lelakinya yang waktu itu masih mahasiswa dia menitipkan pesan terakhir, “Tolong lunasi utang Bapak di bank.”
Utang itu merupakan bagian dari kredit yang diajukan ke bank sebesar Rp5 juta menjelang ia pensiun. Karena perwira aktif dilarang mengajukan kredit ke bank, dia mengajukan kredit atas nama anaknya dengan sejumlah agunan. Rencananya uang itu mau digunakan untuk membuka usaha bengkel. "Aku tak mau setelah pensiun dibelaskasihani oleh siapa pun, termasuk oleh perwira polisi." Padahal, sebagai perwira polisi banyak pengusaha yang mendekati dia untuk berbagai urusan.
Oemar bukanlah lulusan Akabri (Akpol). Ia merintis karier di kepolisian dari pangkat sersan. Sebagai prajurit, ia sudah kenyang bertempur. Terlebih di Sulawesi Selatan pernah terjadi pemberontakan. Hal itu bisa dilihat dari bekas luka tembakan di tubuh, serta luka parut di dada dan perut.
Hingga jasadnya dikuburkan di pemakaman umum, para kolega di kepolisian baru tahu: Oemar sama sekali tak punya rumah, selain rumah dinas yang dia tempati.
Bukti ketegasan dan tanpa pandang bulu sang Letkol adalah ketika anak lelakinya yang diberi mandat untuk melunasi utang terlibat kecelakaan. Kala itu sang anak masih SMP dan menabrak anak seorang bangsawan. Korban terluka. Polisi yang menangani ragu-ragu untuk memroses perkara itu. Namun, Oemar yang kala itu menjabat kepala bagian serse Polres Bone malah menelepon Provos dan memerintahkan agar anaknya disel di kantor polisi.
Terang saja polisi yang menerima perintah itu bingung, namun toh anak lelaki itu dibawa ke kantor polisi. Namun ia tidak tega menjebloskan ke sel mengingat kondisi sel saat itu yang busuk dan penuh pesakitan. Dia diinapkan di kantor serse selama 20 hari. Itu pun saat sang bapak tidak berada di kantor. Bila sang bapak ke kantor mau tak mau si anak dijebloskan ke sel.
Selain tegas, Oemar juga panjang akal. Kepada bangsawan Bone yang senang berjudi misalnya, dia tidak sembarangan main tangkap meski hal itu bisa dia lakukan. Sebaliknya, dia mendekati para bangsawan itu, dan memberitahu mereka agar berhenti berjudi dalam waktu 3 hari atau mereka akan ditangkap. Hasilnya: para bangsawan itu berhenti berjudi.
Di kalangan polisi, Oemar dikenal sebagai perwira yang memperhatikan anak buah. Sering dia mengunjungi rumah-rumah anggotanya, hanya sekadar ingin tahu kehidupan mereka dan keluarganya. Kepada anggota polisi yang rambutnya terlihat sudah mulai panjang dia kerap menitipkan uang untuk ongkos pangkas. “Kau potonglah rambutmu, agar istri dan anakmu bangga bahwa kau polisi.” Uang yang diberikan kepada anggota polisi itu niscaya tidak banyak, sebab Oemar pun mengambilnya dari gaji bulanannya. Toh bukan uang, namun perhatiannya itu yang membuat anak buahnya menaruh rasa hormat yang mendalam.
Namun bukan berarti ia mulus dalam berkarier. Pernah dalam suatu peristiwa saat menenangkan anggota polisi yang mengepung kediaman kapolwil Bone ia justru dituduh sebagai penggerak pengepungan itu. Waktu itu sempat terjadi tembak-menembak antara polisi pengepung dengan Kapolwil dan anggota keluarganya. Para polisi pengepung itu tidak puas dan menuding Kapolwil melindungi anggota panitera pengadilan yang menikam seorang polisi. Gara-gara tuduhan itu karier Oemar sempat tersendat, kenaikan pangkatnya ditunda beberapa waktu.
Seusai dinas di kepolisian ia mengais rupiah dari usaha bengkel yang modalnya ia peroleh dari hasil kredit. Sayangnya, hingga kematiannya tahun 1983, kredit di bank itu masih tersisa Rp3 juta. Banyak rekannya di kepolisian tidak percaya bekas wakil kepala polisi wilayah Bone itu meninggalkan utang di bank.