Warga Belanda yang selama ratusan tahun mempunyai status sebagai warganegara kelas satu, benar-benar dalam keadaan menderita.
Warga Belanda yang jumlahnya kala itu cukup besar ini ditawan
balatentara Dai Nippon. Kemudian bersama-sama tentara Inggris dan
Australia disekap di kamp-kamp tahan militer dan sipil. Diantara warga
Eropa hanya orang Jerman yang mendapat pengecualian karena bersama
dengan Italia merupakan sekutu Jepang.
Menurut catatan, lebih 100 ribu tawanan perang warga Eropa di internir
(ditawan) Jepang. Mereka ditempatkan diberbagai kamp di seluruh
Indonesia. Banyak cerita mengerikan dan memilukan tentang nasib tawanan
di kamp interniran.
Dengan semboyan Untuk Kemakmuran Asia, Jepang bermaksud untuk
menghilangkan semua pengaruh Barat. Semua orang yang bukan Asia nasibnya
akan berakhir dalam kamp-kamp tawanan perang dan sipil.
Ada yang menarik di kamp tawanan ini. Laki-laki dan perempuan dipisahkan
guna mencegah terjadinya hubungan seksual. ”Akibatnya terjadi hubunganm
homoseksual dan lesbian di kamp-kamp,” tulis Joost Cote dalam Recalling
the Indies.
Bahkan hubungan seksual antara penjaga kamp Jepang dan tahanan perempuan
pun terjadi. Seorang tahanan wanita menulis, ”Saya tidak akan lupa apa
yang mereka lakukan pada bapak saya. Kempetei (polisi militer Jepang)
menahan dia bersama kakak saya. Kakak saya harus duduk di depan bapak
dan harus menyaksikan bapak ditusuk dengan tongkat merah membara yang
dibungkus batok kelapa yang dibakar. Kemudian dicap di muka bapak dalam
waktu yang lama.” Masih banyak lagi kisah-kisah menyedihkan dalam
kamp-kamp tahanan perang dan sipil Jepang.
Di Jakarta terdapat belasan tempat yang oleh Jepang dijadikan sebagai
kamp tawanan perang dan sipil. Seperti tempat penampungan kuli-kuli
kontrak di Sluiweg (kini Matraman) yang berisi tak kurang dari tiga ribu
tawanan laki-laki Belanda dari berbagai tempat di Batavia. Jumlahnya
makin membengkak ketika September 1944 ditempatkan pula para wanita dan
anak-anak. Ketika September 1945, setelah Jeopang tekuk lutut, tentara
sekutu menemukan 1.900 tawanan Belanda dalam keadaan menyedihkan.
Di Bukitduri yang kini menjadi kompleks pertokoan di Jatinegara, juga
dijadikan tempat tawanan pria Belanda dan Eropa. Di Jl Jagamonyet (kini
Jl Suryopranoto) bekas markas KNIL pun sempat dijadikan tempat tawanan
perang KNIL asal Maluku. Sedangkan, di penjara Glodok (kini pertokoan
Harco) jadi kamp tawanan pertama orang Eropa.
Tawanan perang yang dipenjara di kamp ini berjumlah 1.500 orang yang
kebanyakan serdadu Inggris dan Australia. Rumah Sakit Jiwa di Grogol,
Jakarta Barat, menjadi kamp tawanan 1.400 orang Belanda. Sementara di
kamp pengungsi Koja, Tanjung Priok, mendekam 800 tahanan Inggris yang
didatangkan dari Bandung. Demikian pula di Kampung Makassar dan puluhan
tempat lainnya yang tersebar di Jakarta.
Jauh di masa sebelumnya hubungan Belanda dan Jepang memiliki sejarah
yang kompleks. Pada 1899 penduduk Jepang di Hindia Belanda memperoleh
kedudukan hukum yang sama dengan orang Eropa. Warga Jepang menjadi
satu-satunya kelompok nonEropa yang statusnya disamakan dengan warga
Eropa sebagai hasil Perjanjian Dagang 1896.
Sekitar 1900 terdapat sekitar 500 orang Jepang di Hindia Belanda yang
mayoritas wanita penghibur. Pada awal masa VOC juga banyak penghibur
dari Pulau Dasima (Jepang). Bahkan, Gubernur Jenderal Jacques Specx
(1629-1632) pengganti JP Coen memiliki seorang putri bernama Sara, hasil
dari kumpul kebo-nya dengan wanita Jepang.
Pada 1940 menjelang Perang Dunia II jumlah orang Jepang meningkat pesat
menjadi 8000 orang. Mereka umumnya hidup secara tertutup. Konon banyak
yang jadi mata-mata untuk negaranya yang memudahkan penguasa Jepang
memperoleh kemenangan pesat ketika menyerbu Hindia Belanda.
Pada awal Perang Dunia II Belanda masih bersikap netral terhadap Jepang.
Baru Juli 1941 pemerintah Hindia Belanda menanggalkan sikap netralnya
dengan berpihak pada AS (Sekutu) seiring pelaksanaan embargo atas ekspor
ke Jepang setelah invasi Jepang ke Indochina Selatan. Pada Januari 1942
balatengara Dai Nippon dengan semangat bushido-nya mulai menyerang
Hindia Belanda. Hanya dalam tempo dua bulan (8 Maret 1942) Angkatan
Perang Belanda (KNIL) bertekuk lutut.