Siapapun pasti tidak asing dengan foto Bung Karno yang tengah membacakan
proklamasi. Foto ini selalu dimuat pada setiap buku sejarah kemerdekaan
dan tayangan TV yang membahas proklamasi. Foto tersebut begitu
pentingnya karena menjadi bukti otentik dibacakannya proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Namundi balik itu foto tersebut juga mengandung
kisah-kisah menarik. Berikut adalah salah satu kisah seputar pembacaan
proklamasi yang saya temukan dalam sebuah potongan artikel.
Satu-satunya mikrofoon
Pernah seorang bekas pejabat RI bercerita bahwa mikrofoon satu-satunya
yang digunakan pada waktu Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945
itu adalah barang “curian dari Belanda”. Itu tidak betul! Mikrofoon
tersebut adalah milik sdr. Gunawan dari “Radio Satrija”, yang bertempat
tinggal dan berusaha di jalan Salemba Tengah 24, Jakarta.
Mikrofoon tersebut adalah hasil buatan sdr. Gunawan sendiri. Baik
“corong”nya, maupun “stardar”nya. Baik “Vesterker”nya, maupun “band”nya,
juga dibuat dari “zilverpapier”, selubung rokok. Semuanya itu adalah
hasil kecerdasan otak dan keterampilan tangan seorang Indonesia, yang
bernama Gunawan itu.
Pada tanggal 17 Agustus pagi-pagi benar, dua orang masing-masing berusia
35 tahun, berkendaraan sebuah mobil, datang untuk meminjam mikrofoon.
Tidak diterangkan kepadanya untuk keperluan apa. Mereka itu adalah
sdr. Wilopo dan Nyonoprawoto. Sdr. Wilopo waktu itu bekerja di Balai Kota sebagai pembatu pak Suwirjo.
Oleh karena itu baik Sdr. Wilopo maupun Mas Njono tidak bisa memasang
mikrofoon sendiri, maka sdr. Gunawan menyuruh seorang anggota
keluarganya, seorang pemuda berusia 21 tahun yang juga cukup ahli untuk
ikut mereka. Baru di dalam mobil itulah, Sdr. Sunarto demikianlah nama
pemuda itu, diberi tahu, bahwa mikrofoon itu akan diperlukan guna
Proklamasi Kemerdekaan.
Sdr. Sunarto inilah yang memasang Mikrofoon yang besejarah ini di
Gedung Pegangsaan Timur 56 pada tanggal 17 Agustus 1945 (ketika artikel
ini ditulis, Sdr. Sunarto bekerja sebagai pengusaha dan tinggal di
Bogor).
“Standar” didirikannya di ruang muka yang terbuka, dan “versterker”
diletakkan di dalam kamar muka sebelah kiri ruang terbuka itu. Setelah
selesai dipakai, siang itu juga mikrofoon diserahkan kembali oleh Sdr.
Wilopo kepada Sdr. Gunawan.
Menurut keterangan Sdr. Sunarto, baik pada waktu dibawanya ke Pegangsaan
Timur maupun pada waktu dibawanya kembali ke Salemba Tengah,
Mikrofoon
tersebut seolah-olah telah mendapat “salvo kehormatan”dari tentara
Jepang berupa tembakan senapan. Masing-masing terdengar di muka RS UP
dan di muka “Ika Daigaku” (Sekolah Kedokteran UI sekarang). Untung tidak sampai menyebabkan jatuhnya korban, dan barangkali memang tidak dengan “peluru tajam”.
Ternyata mikrofoon itu masih mempunyai peranan lebih lanjut karena
bersamaan dengan pemilikinya, dibawa hijrah ke Solo pada permulaan tahun
1946. Sejak itu barang tersebut disimpan baik-baik oleh keluarga
Gunawan. Hanya kadang-kadang saja ditunjukan kepada sabat-sahabatnya dan
tidak pernah dipergunakan lagi. Pada akhir tahun 1949, memenuhi anjuran
pemerintah RI, Keluarga Gunawan pun kembali lagi ke Jakarta. “Mikrofoon
Bersejarah” itu dibawanya, “Versterker”nya telah rusak, dan ditinggal
di Jogja. Berkali-kali barang yang mempunyai nilai sejarah itu telah
ditawar orang untuk dibeli, tetapi Keluarga Gunawan selalu menolaknya.
Di manakan benda bersejarah itu sekarang ini?
Suwirjo, sebagai pembawa acara…
Pada sekitar tahun 1960, mikrofoon beserta “stadar”nya tetapi tanpa
“versterker” lagi itu, telah diminta oleh Sdr. Harjoto, waktu itu Sekjen
Kementerian Penerangan, dengan perantaraan Sdr. Darmosugondo untuk
diserahkan kepada Presiden, agar akhirnya disimpan di dalam Monas
(Monumen Nasional).
Tetapi sejak itu Sdr. Harjoto tidak tahu lagi dimanakah mikrofoon itu
berada. Yang mungkin masih dapat memberi keterangan adalah Sdr. Tukimin,
pembantu pribadi Presiden Soekarno, Demikian jawab Sdr. Harjoto atas
pertanyaan penulis. Pada waktu itu Sdr. Gunawan beserta Istri telah
menyatakan sama sekali tidak berkeberatan, bahkan merasa gembira dan
bangga, apabila “mikrofoon” tersebut dimasukkan dalam museum perjuangan
kita. Harus diakui, bahwa di samping KERTAS DENGAN TEKS PROKLAMASI dan
BENDERA PUSAKA, MIKROFOON inilah merupakan benda bersejarah yang pantas
kita simpan sepanjang massa.
Mikrofoon Bersejarah yang misterius
Wanita yang ke-3
Pada waktu Kemerdekaan diproklamirkan di Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) No. 56,
diantara lebih seribu orang yang hadir di tempat tersebut, hanya ada 3 orang wanita. Yang 2 orang, telah kita kenal, yaitu “Bu Fat” dan “Zus Tri”. Tetapi siapakah wanita yang ke-3 itu? Dia turut berdiri di barisan paling depan menghadap rumah Bung Karno. Dan tatkala
beberapa
saat kemudian Dr. Muwardi mengajak membentuk “Pasukan Berani Mati”,
wanita yang usianya sekitar 35 tahun dan perpakaian sangat sederhana,
turut mendaftarkan dirinya. Namanya penulis tidak ingat lagi.
Tetapi alamatnya yang dia berikan masih penulis ingat. Yaitu KARANGANYAR (Bagelen). Masih hidupkah ia sekarang ini ? (ketika tulisan ini ditulis), Entahlah!
Tetapi dialah wanita ke-3 yang dapat kita lihat dalam gambar-gambar Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.